Setelah Kita Dimasukkan ke Liang Kubur…
Penulis: Ummu Salamah Farosyah dan Ummu Rumman
Adakah dari kita yang tidak mengetahui bahwa suatu ketika akan datang kematian pada kita. Allah Ta’ala telah berfirman, yang artinya, “Setiap jiwa pasti akan merasakan kematian. Dan kami benar-benar akan menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan, dan kepada kamilah kalian akan dikembalikan.” (QS. Al Anbiyaa’: 35). Ya, setiap dari kita insya Allah telah menyadari dan menyakini hal ini. Tetapi kebanyakan orang telah lalai atau bahkan sengaja melalaikan diri mereka sendiri. Satu persatu orang yang kita kasihi telah pergi (meninggal-ed) tapi seakan-akan kematian mereka tidak meninggal faidah bagi kita, kecuali rasa sedih akibat kehilangan mereka.
Saudariku, kematian adalah benar adanya. Begitu pula dengan kehidupan setelah kematian. Kehidupan akhirat, inilah yang seharusnya kita tuju. Kampung akhiratlah tempat kembali kita. Maka persiapkanlah bekal untuk menempuh jauhnya perjalanan. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya, “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan hanya permainan dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?” (QS. Al An’am: 32)
Ketahuilah wahai hamba Allah! Bahwa kuburan adalah persinggahan pertama menuju akhirat. Orang yang mati, berarti telah mengalami kiamat kecil. Apabila seorang hamba telah dikubur, akan diperlihatkan kepadanya tempat tinggalnya nanti pada pagi hari, yakni antara waktu fajar dan terbit matahari, serta waktu sore, yakni antara waktu dzhuhur hingga maghrib. Apabila ia termasuk penghuni Jannah, akan diperlihatkan tempat tinggalnya di Jannah, dan apabila ia termasuk penghuni Naar, akan diperlihatkan tempat tinggalnya di Naar.
Fitnah Kubur
Fitnah secara bahasa berarti ujian (ikhtibaar), sedangkan secara istilah fitnah kubur adalah pertanyaan yang ditujukan kepada mayit tentang Rabbnya, agamanya dan Nabinya. Hal ini benar berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. (Lihat Syarah Lum’atul I’tiqod hal 67, syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin)
Diriwayat oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Al Barra’ bin ‘Azib bahwasanya ketika seorang mayit telah selesai dikuburkan dan dihadapkan pada alam akhirat, maka akan datang padanya dua malaikat (yaitu malaikat Munkar dan Nakir) yang akan bertanya kepada sang mayit tiga pertanyaan.
Pertanyaan pertama, “Man Robbuka?” … Siapakah Robbmu?
Kedua, “Wa maa diinuka?” … dan apakah agamamu?
Ketiga, “Wa maa hadzaar rujululladzii bu’itsa fiikum?” … dan siapakah orang yang telah diutus di antara kalian ini?
Tiga pertanyaan inilah yang disebut dengan fitnah kubur. Oleh karena itu, tiga pertanyaan pokok ini merupakan masalah besar yang penting dan mendesak untuk diketahui. Wajib bagi setiap manusia untuk mengetahui, meyakini dan mengamalkan hal ini, baik secara lahir maupun bathin. Tidak seorang pun dapat beralasan untuk tidak mengetahui tiga hal tersebut dan tidak mempelajarinya. Bahkan ketiga hal ini harus dipelajari sebelum hal lain. Perhatikanlah hal ini wahai saudariku!
Tiga pertanyaan ini juga awal dari nikmat dan siksaan di alam kubur. Orang-orang yang bisa menjawab adalah orang-orang yang paham, yakin dan mengamalkannya selama hidup sampai akhir hayat dan meninggal dalam keimanan. Seorang mukmin yang bisa menjawab ketiga pertanyaan, maka dia akan memperoleh nikmat kubur. Adapun orang kafir yang tidak bisa menjawabnya, maka dia akan dihadapkan kepada adzab kubur.
Saudariku, Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an surah Ibrahim 27, yang artinya, “Allah Meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat, dan Allah akan Menyesatkan orang-orang yang dzalim dan Memperbuat apa yang Dia kehendaki.”
Menurut Ibnu Katsir yang dimaksud dengan “ucapan yang teguh” adalah seorang mukmin akan teguh di atas keimanan dan terjaga dari syubhat dan ia akan terjaga di atas keimanan. Sedangkan di akhirat, ia akan meninggal dalam keadaan husnul khatimah (dalam keadaan beriman) dan bisa menjawab tiga pertanyaan.
Kita memohon kepada Allah semoga Dia meneguhkan iman kita ketika masih hidup dan ketika akan meninggal dunia. Meneguhkan kita ketika menjawab ketiga pertanyaan serta ketika dibangkitkan kelak di akhirat. Keteguhan iman di dunia dan akhirat, inilah hakikat kebahagiaan yang sesungguhnya.
Bentuk-Bentuk Siksa Kubur
Saudariku, telah disebutkan bahwa seorang yang kafir akan disiksa karena tidak bisa menjawab ketiga pertanyaan. Akan tetapi, bukan berarti seorang mukmin pasti akan terlepas dari adzab kubur. Seorang mukmin bisa saja diadzab disebabkan maksiat yang dilakukannya, kecuali bila Allah mengampuninya.
Syaikh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi berkata dalam kitabnya Aqidah Ath-Thahawiyah, “Kita mengimani adanya adzab kubur bagi orang yang berhak mendapatkannya, kita mengimani juga pertanyaan Malaikat Munkar dan Nakir kepadanya di dalam kubur tentang Rabbnya, agamanya, dan Nabinya berdasar kabar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat ridhwanallahu ‘alaihim ajma’in. Alam kubur adalah taman-taman jannah atau kubangan Naar.”
Di antara bentuk-bentuk adzab kubur dan kriteria orang yang mengalaminya:
1. Dipecahkan kepalanya dengan batu, kemudian Allah tumbuhkan lagi kepalanya, dipecahkan lagi demikian seterusnya. Ini adalah siksa bagi orang yang mempelajari Al-Qur’an lalu tidak mengamalkannya dan juga siksa bagi orang yang meninggalkan sholat wajib.
2. Dibelah ujung mulut hingga ke belakang kepala, demikian juga hidung dan kedua matanya. Merupakan siksa bagi orang yang pergi dari rumahnya di pagi hari lalu berdusta dan kedustaannya itu mencapai ufuk.
3. Ada kaum lelaki dan perempuan telanjang berada dalam bangunan menyerupai tungku. Tiba-tiba datanglah api dari bawah mereka. Mereka adalah para pezina lelaki dan perempuan.
4. Dijejali batu, ketika sedang berenang, mandi di sungai. Ini merupakan siksa bagi orang yang memakan riba.
5. Kaum yang separuh jasadnya bagus dan separuhnya lagi jelek adalah kaum yang mencampurkan antara amal shalih dengan perbuatan jelek, namun Allah mengampuni perbuatan jelek mereka.
6. Kaum yang memiliki kuku dari tembaga, yang mereka gunakan untuk mencakari wajah dan dada mereka. Mereka adalah orang-orang yang suka memakan daging orang lain (menggunjing) yakni membicarakan aib mereka.
Adzab dan nikmat kubur adalah benar adanya berdasarkan Al Qur’an, As Sunnah dan ‘ijma ahlu sunnah. Nabi shallahu ‘alaihi wasallam selalu memohon perlindungan kepada Allah dari adzab kubur dan memerintahkan umatnya untuk melakukan hal itu. Dan hal ini hanya diingkari oleh orang-orang Mulhid (atheis). Mereka mengatakan bahwa seandainya kita membongkar kuburan tersebut, maka akan kita dapati keadaannya seperti semula. Namun, dapat kita bantah dengan dua hal:
1. Dengan dalil Al Qur’an dan Sunnah dan ‘ijma salaf yang menunjukkan tentang adzab kubur.
2. Sesungguhnya keadaan akhirat tidak bisa disamakan dengan keadaan dunia, maka adzab atau nikmat kubur tidaklah sama dengan apa yang bisa ditangkap dengan indra di dunia. (Diringkas dari Syarah Lum’atul I’tiqod, hal 65-66)
Banyak hadits-hadits mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pembuktian adzab dan nikmat kubur bagi mereka yang berhak mengecapnya. Demikian juga pertanyaan Munkar dan Nakir. Semua itu harus diyakini dan diimani keberadaannya. Dan kita tidak boleh mempertanyakan bagaimananya. Sebab akal memang tidak dapat memahami bentuk sesungguhnya. Karena memang tak pernah mereka alami di dunia ini.
Ketahuilah, bahwa siksa kubur adalah siksa di alam Barzakh. Barangsiapa yang mati, dan berhak mendapatkan adzab, ia akan menerima bagiannya. Baik ia dikubur maupun tidak. Meski dimangsa binatang buas, atau terbakar hangus hingga menjadi abu dan bertaburan dibawa angin; atau disalib dan tenggelam di dasar laut. Ruh dan jasadnya tetap akan mendapat siksa, sama seperti orang yang dikubur. (lihat Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi)
Apakah Adzab Kubur terjadi terus-menerus atau kemudian berhenti ?
Maka jawaban untuk pertanyaan ini ada dua macam:
Pertama, untuk orang kafir yang tidak bisa menjawab ketiga pertanyaan, maka adzab berlangsung terus-menerus. Sebagaimana firman Allah Ta’ala, yang artinya, “Kepada mereka ditampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat (Dikatakan pada malaikat): Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam adzab yang sangat keras.” (QS. Ghafir: 46)
Demikian juga dalam hadits Al Barra’ bin ‘Azib tentang kisah orang kafir, “Kemudian dibukakan baginya pintu Naar sehingga ia dapat melihat tempat tinggalnya di sana hingga hari kiamat.” (HR. Imam Ahmad)
Kedua, untuk para pelaku maksiat yang ringan kemaksiatannya, maka adzab hanya berlangsung beberapa waktu kemudian berhenti. Mereka disiksa sebatas dosanya, kemudian diberi keringanan. (lihat Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi)
Saudariku, semoga Allah Melindungi kita dari adzab kubur dan memudahkan perjalanan setelahnya. Seringan apapun adzab kubur, tidak ada satupun dari kita yang sanggup menahan penderitaannya. Begitu banyak dosa telah kita kerjakan… maka jangan siakan waktu lagi untuk bertaubat. Janganlah lagi menunda berbuat kebaikan. Amal perbuatan kita, kita sendirilah yang akan mempertanggungjawabkannya dan mendapatkan balasannya. Jika bukan kita sendiri yang beramal shalih demi keselamatan dunia dan akhirat kita, maka siapa lagi ???
Sungguh indah nasihat Yazid Ar Riqasyi rahimahullah yang dikatakannya pada dirinya sendiri, “Celaka engkau wahai Yazid! Siapa yang akan mendirikan shalat untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan berpuasa untukmu setelah engkau mati? Siapa yang akan memintakan maaf untukmu setelah engkau mati?” Lalu ia berkata, “Wahai manusia, mengapa kalian tidak menangis dan meratapi dirimu selama sisa hidupmu. Barangsiapa yang akhirnya adalah mati, kuburannya sebagai rumah tinggalnya, tanah sebagai kasurnya dan ulat-ulat yang menemaninya, serta dalam keadaan demikian ia menunggu hari kiamat yang mengerikan. Wahai, bagaimanakah keadaan seperti ini?” Lalu beliau menangis. Wallahu Ta’ala a’lam.
Maraji’:
1. Aqidah Ath-Thahawiyah, Syaikh Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath Thahawi (diambil dari Mutuunut Tauhidi wal ‘Aqiidati)
2. Syarah Al Waajibaat al Mutahattimaat al Ma’rifah ‘alaa kulli Muslim wa Muslimah (edisi terjemah), Syaikh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al Khuraishi, Pustaka Imam Syafi’i
3 Syarah Lum’atul I’tiqod, Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin
4. Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah (jilid 2. edisi Terjemah), Syaikh Abdul Akhir Hammad al Ghunaimi, Penerbit At Tibyan.
***
Artikel www.muslimah.or.id
Tulisan adalah caraku mengabadikan sesuatu yang mungkin tidak akan abadi.
Rabu, 10 Juli 2019
Minggu, 07 Juli 2019
Apakah Orang tua Mendapatkan Pahala Amal Shalih Anaknya?
Apakah Orang tua Mendapatkan Pahala Amal Shalih Anaknya?
Pertanyaan:
Ayahku telah wafat dan aku ingin bertanya :
Setiap amal shalih yang aku kerjakan (dengan izin Allah) kemudian aku mendapat pahala darinya, apakah ayahku juga akan mendapat pahala yang semisal dengan pahala yang aku dapatkan karena asal-usulku dari beliau ?
Demikian pula, jika aku menikah kemudian Allah berikan keturunan yang shalih, apakah aku dan ayahku juga mendapatkan pahala amal shalih yang dilakukan oleh anak-anakku.
Jawaban:
Alhamdulillah.
Jika seorang wafat, maka terputuslah kesempatan beramal dan terputus pula pahala dari amal tersebut, kecuali amal tertentu yang disebutkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat yang ia wariskan, atau doa anaknya yang shalih untuknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang wafat, maka terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim No. 1631)
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman setelah ia mati dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Al-Qur`an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah persinggahan bagi para musafir yang ia bangun, sungai yang ia alirkan dan sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan hidup. Semua itu akan tetap menemuinya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah no. 242. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
As-Suyuti rahimahullah mengumpulkan hadits di atas dalam bait syairnya
إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر
Jika manusia wafat, tidak akan ada lagi pahala yang mengalir untuknya kecuali dari 10 amal saja
عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِ
Ilmu yang ia sebarkan dan doa keturunannya, menanam kurma dan sedekah jariah
وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر
Mushaf yang diwariskan, menjaga daerah perbatasan perang, menggali sumur atau mengalirkan sungai
وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر
Rumah untuk para musafir atau membangun masjid
وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ
Mengajarkan Al-Qur’anul karim. Maka ambillah ringkasan ini dari hadits-hadits.
Inilah berbagai amalan yang mengalir manfaat dan pahalanya walaupun yang melakukannya telah wafat.
Apabila seorang anak melakukan amal shalih dari hasil pendidikan dan pengajaran ayahnya, maka sang ayah akan mendapat balasan pahala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia mendapat balasan semisal orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan (kesesatan tersebut) tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim No. 2674)
Juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang artinya) :
“…(Yaitu) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan”.
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: “Rasulullah mendapat pahala semisal pahala seluruh umatnya karena beliaulah yang menunjukkan dan membimbing mereka kepada kebaikan”.
Berdasarkan dalil yang ada jelaslah kondisi seseorang, walaupun ia berasal dari ayahnya dan usahanya, namun tidak berarti ayah akan mendapat pahala untuk setiap amal shalih yg dilakukan anaknya. Akan tetapi, ia hanya diberi balasan sesuai dengan keikutsertaannya dalam amal shalih anaknya. Baik karena ia telah mengajarkan amal tersebut kepada anaknya atau karena bimbingannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menuturkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyebutkan bahwa ayah mendapatkan ganjaran pada seluruh amal-amal shalih anaknya. Kami tidak mengetahui adanya dalil jika harus seperti itu. Nabi hanya menjadikan doa sang anak untuk orang tua sebagai salah satu amal jariah. Berbeda dengan orang yang mengajak kepada petunjuk, ia mendapat ganjaran yang semisal dengan orang yang mengikuti petunjuknya.
Perbedaan ini sangat jelas. Dimana orang yang mendakwahkan kepada petunjuk punya keinginan untuk mengamalkan petunjuk tersebut sesuai kemampuannya, namun dia hanya sanggup mendakwahkan dan menyerukan saja sehingga saat ada yang berkeinginan kuat untuk mengamalkannya dan ia mampu, maka orang yang menyerukannya, seperti orang yang beramal secara langsung”.
Beliau juga mengatakan : “Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa orang tua akan mendapat pahala dari setiap amal shalih yang dilakukan anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya mengatakan : “Jika anak Adam wafat, terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara …”.
Pada hadits lainnya : “Apabila seseorang membaca (menghafal) Al-qur`an, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan pakaian-pakaian surga”.
Disebutkan sebabnya dalam hadits ini : “Dengan sebab hafalan Al-Qur`an anakmu berdua”.
Dan dalil lain yang serupa tentang orang tua akan mendapat pahala dari kebaikan anaknya, tetapi pahala yang didapatkan tidak harus selalu setara dengan pahala amal yang dilakukan anaknya. Tidak seperti keadaan orang yang menunjukkan kepada kebaikan, seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mendapatkan pahala semisal pahala umatnya.
Balasan bagi orang yang mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan adalah pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tidak seperti hubungan pahala antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para penyeru dakwah lebih besar daripada orang tua.” (Jami’ al-Masa`il li Ibni Taimiyyah, 273, 4/266)
Kemudian hendaknya seorang anak memperbanyak doa untuk orang tuanya, bersedekah untuk mereka jika mampu, atau berwakaf atas nama orang tuanya sehingga akan menjadi amal jariah untuk orang tuanya. Oleh karena balasan sesuai dengan jenis amal, semoga dengan kesungguhannya untuk menyertakan manfaat bagi orang tuanya, maka Allah akan mempersiapkan untuknya seorang anak yang bersemangat memberi manfaat untuknya setelah ia wafat.
Wallahu a’lam
***
Diterjemahkan dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid (https://islamqa.info/amp/ar/answers/134608)
Penerjemah : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.or.id
Pertanyaan:
Ayahku telah wafat dan aku ingin bertanya :
Setiap amal shalih yang aku kerjakan (dengan izin Allah) kemudian aku mendapat pahala darinya, apakah ayahku juga akan mendapat pahala yang semisal dengan pahala yang aku dapatkan karena asal-usulku dari beliau ?
Demikian pula, jika aku menikah kemudian Allah berikan keturunan yang shalih, apakah aku dan ayahku juga mendapatkan pahala amal shalih yang dilakukan oleh anak-anakku.
Jawaban:
Alhamdulillah.
Jika seorang wafat, maka terputuslah kesempatan beramal dan terputus pula pahala dari amal tersebut, kecuali amal tertentu yang disebutkan secara khusus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti : sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat yang ia wariskan, atau doa anaknya yang shalih untuknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلا مِنْ ثَلاثَةٍ : إِلا مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
“Jika seorang wafat, maka terputuslah amalannya, kecuali 3 hal: sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim No. 1631)
إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ أَوْ بَيْتًا لِابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ
“Sesungguhnya yang didapati oleh orang yang beriman setelah ia mati dari amalan dan kebaikan yang ia lakukan adalah ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan, anak shalih yang ia tinggalkan, mushaf Al-Qur`an yang ia wariskan, masjid yang ia bangun, rumah persinggahan bagi para musafir yang ia bangun, sungai yang ia alirkan dan sedekah yang ia keluarkan dari hartanya ketika ia sehat dan hidup. Semua itu akan tetap menemuinya setelah ia mati.” (HR. Ibnu Majah no. 242. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah)
As-Suyuti rahimahullah mengumpulkan hadits di atas dalam bait syairnya
إِذَا مَاتَ اِبْن آدَم لَيْسَ يَجْرِي عَلَيْهِ مِنْ فِعَال غَيْر عَشْر
Jika manusia wafat, tidak akan ada lagi pahala yang mengalir untuknya kecuali dari 10 amal saja
عُلُوم بَثَّهَا وَدُعَاء نَجْل وَغَرْس النَّخْل وَالصَّدَقَات تَجْرِ
Ilmu yang ia sebarkan dan doa keturunannya, menanam kurma dan sedekah jariah
وِرَاثَة مُصْحَف وَرِبَاط ثَغْر وَحَفْر الْبِئْر أَوْ إِجْرَاء نَهَر
Mushaf yang diwariskan, menjaga daerah perbatasan perang, menggali sumur atau mengalirkan sungai
وَبَيْت لِلْغَرِيبِ بَنَاهُ يَأْوِي إِلَيْهِ أَوْ بَنَاهُ مَحَلّ ذِكْر
Rumah untuk para musafir atau membangun masjid
وَتَعْلِيم لِقُرْآنٍ كَرِيم فَخُذْهَا مِنْ أَحَادِيث بِحَصْرٍ
Mengajarkan Al-Qur’anul karim. Maka ambillah ringkasan ini dari hadits-hadits.
Inilah berbagai amalan yang mengalir manfaat dan pahalanya walaupun yang melakukannya telah wafat.
Apabila seorang anak melakukan amal shalih dari hasil pendidikan dan pengajaran ayahnya, maka sang ayah akan mendapat balasan pahala, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلَالَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنْ الْإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang mengajak kepada petunjuk, maka ia mendapat balasan semisal orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala orang yang melakukannya sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, maka ia mendapat dosa sebagaimana dosa orang yang melakukan (kesesatan tersebut) tanpa mengurangi dosanya sedikitpun.” (HR. Muslim No. 2674)
Juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang artinya) :
“…(Yaitu) ilmu yang ia ajarkan dan sebarkan”.
Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan: “Rasulullah mendapat pahala semisal pahala seluruh umatnya karena beliaulah yang menunjukkan dan membimbing mereka kepada kebaikan”.
Berdasarkan dalil yang ada jelaslah kondisi seseorang, walaupun ia berasal dari ayahnya dan usahanya, namun tidak berarti ayah akan mendapat pahala untuk setiap amal shalih yg dilakukan anaknya. Akan tetapi, ia hanya diberi balasan sesuai dengan keikutsertaannya dalam amal shalih anaknya. Baik karena ia telah mengajarkan amal tersebut kepada anaknya atau karena bimbingannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menuturkan : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak menyebutkan bahwa ayah mendapatkan ganjaran pada seluruh amal-amal shalih anaknya. Kami tidak mengetahui adanya dalil jika harus seperti itu. Nabi hanya menjadikan doa sang anak untuk orang tua sebagai salah satu amal jariah. Berbeda dengan orang yang mengajak kepada petunjuk, ia mendapat ganjaran yang semisal dengan orang yang mengikuti petunjuknya.
Perbedaan ini sangat jelas. Dimana orang yang mendakwahkan kepada petunjuk punya keinginan untuk mengamalkan petunjuk tersebut sesuai kemampuannya, namun dia hanya sanggup mendakwahkan dan menyerukan saja sehingga saat ada yang berkeinginan kuat untuk mengamalkannya dan ia mampu, maka orang yang menyerukannya, seperti orang yang beramal secara langsung”.
Beliau juga mengatakan : “Tidak ada dalil yang menetapkan bahwa orang tua akan mendapat pahala dari setiap amal shalih yang dilakukan anaknya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya mengatakan : “Jika anak Adam wafat, terputuslah amalnya, kecuali 3 perkara …”.
Pada hadits lainnya : “Apabila seseorang membaca (menghafal) Al-qur`an, maka kedua orang tuanya akan dipakaikan pakaian-pakaian surga”.
Disebutkan sebabnya dalam hadits ini : “Dengan sebab hafalan Al-Qur`an anakmu berdua”.
Dan dalil lain yang serupa tentang orang tua akan mendapat pahala dari kebaikan anaknya, tetapi pahala yang didapatkan tidak harus selalu setara dengan pahala amal yang dilakukan anaknya. Tidak seperti keadaan orang yang menunjukkan kepada kebaikan, seperti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mendapatkan pahala semisal pahala umatnya.
Balasan bagi orang yang mengajarkan dan mengajak kepada kebaikan adalah pahala yang sama dengan orang yang mengerjakannya. Tidak seperti hubungan pahala antara orang tua dan anak. Oleh karena itu, hak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan para penyeru dakwah lebih besar daripada orang tua.” (Jami’ al-Masa`il li Ibni Taimiyyah, 273, 4/266)
Kemudian hendaknya seorang anak memperbanyak doa untuk orang tuanya, bersedekah untuk mereka jika mampu, atau berwakaf atas nama orang tuanya sehingga akan menjadi amal jariah untuk orang tuanya. Oleh karena balasan sesuai dengan jenis amal, semoga dengan kesungguhannya untuk menyertakan manfaat bagi orang tuanya, maka Allah akan mempersiapkan untuknya seorang anak yang bersemangat memberi manfaat untuknya setelah ia wafat.
Wallahu a’lam
***
Diterjemahkan dari fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Munajjid (https://islamqa.info/amp/ar/answers/134608)
Penerjemah : Titi Komalasari
Murojaah : Ustadz Ratno, Lc
Artikel Muslimah.or.id
Jumat, 05 Juli 2019
6 SIFAT WANITA YANG WAJIB DIWASPADAI
Inilah enam sifat wanita muslimah yang mesti dijauhi.
Dalam Ihya’ Ulum Ad-Diin, Imam Al-Ghazali rahimahullah menyebutkan:
قَالَ بَعْضُ العَرَبِ (لاَ تَنْكِحُوا مِنَ النِّسَاءِ سِتَّةٌ لاَ أَنَّانَةَ وَلاَ مَنَّانَةَ وَلاَ حَنَّانَةَ وَلاَ تَنْكِحُوْا حَدَّاقَةَ وَلاَ بَرَّاقَةَ وَلاَ شَدَّاقَةَ)
SEBAGIAN ORANG ARAB BERKATA, JANGANLAH MENIKAHI ENAM WANITA: ANNAANAH, MANNAANAH, HANNANAH, HADDAQAH, BARROQOH, DAN SYADDAQAH.
Adapun annanah, dia adalah wanita yang banyak mengeluh dan mengaduh, dia seperti membalut kepalanya dengan perban setiap waktu. Jika wanita ini dinikahi sama saja menikahi orang sakit atau orang yang pura-pura sakit, tidak ada kebaikan bagi suami.
Adapun mannanah, dia adalah wanita yang terus mengungkit kebaikan-kebaikannya pada suaminya, ia berkata, “Aku sudah melakukan ini dan itu karenamu.”
Adapun hannanah, dia adalah wanita yang merindukan suami yang lain atau anak dari suami yang lain.
Adapun haddaqah,dia adalah wanita yang memandang tajam segala sesuatu dengan biji matanya, ia tertarik sehingga membebani suaminya dalam belanja. [Pendek kata, ia boros dan konsumtif. Jika wanita-wanita tipe sebelumnya menguras emosi suami, wanita tipe ini menguras kantong suami].
Adapun barroqoh, ada dua makna dalam hal ini.
Pertama, ia adalah tipe wanita yang sepanjang hari mengilapkan wajahnya, berhias diri, supaya wajahnya berkilau, bersinar, dan itu dibuat-buat.
Kedua, ia adalah tipe wanita yang sering marah pada makanan, ia tidaklah makan kecuali sendirian, kalau makan pun hanyalah sedikit. Ini adalah kosakata Yamaniyah. Mereka menyebut istilah ini untuk anak kecil yang marah ketika makan.
Adapun syaddaqah (secara bahasa artinya: lebar sudut mulutnya), ia adalah tipe wanita yang banyak bicara, dalam hadits disebutkan, “Allah membenci orang tsartsarin (banyak cakap) mutasyaddaqin (banyak bicara).”
Demikian penjelasan dari Imam Al-Ghazali rahimahullah mengenai enam tipe wanita di atas.
Jangan Jadi Istri yang Banyak Mengeluh
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah menghadiri shalat ied bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memulai dengan shalat kemudian khutbah tanpa azan dan tanpa iqamah. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri bersandar pada Bilal, beliau memerintahkan untuk bertakwa kepada Allah dan mendorong untuk taat kepada-Nya. Beliau memberikan wejangan dan mengingatkan manusia saat itu. Kemudian beliau lewat dan mendatangi jamaah wanita lantas beliau menyampaikan wejangan dan mengingatkan mereka. Beliau berkata,
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنَّكُنَّ أَكْثَرُ حَطَبِ جَهَنَّمَ
“Wahai para wanita, bersedekahlah karena kalian itu yang paling banyak menjadi bahan bakar neraka Jahannam.”
Kemudian ada seorang wanita terbaik yang nampak tidak berhias diri di antara mereka berdiri lalu berkata, “Kenapa wanita yang paling banyak masuk neraka, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
لِأَنَّكُنَّ تُكْثِرْنَ الشَّكاَةَ وَتَكْفُرْنَ العَشِيْرَ
“Karena kalian banyak mengaduh dan tidak mensyukuri pemberian suami kalian.”
Jabir berkata, “Lantas para wanita bersedekah dengan perhiasan mereka. Mereka melemparkan perhiasan mereka pada kain Bilal, ada di situ anting dan cincin mereka.” (HR. Bukhari, no. 978 dan Muslim, no. 885. Imam Bukhari menyebutkan dalam Bab “Nasihat imam pada wanita pada hari ied”).
Ada Istri yang Menjadi Penyebab Suaminya Jauh dari Agama Allah
Dalam ayat diingatkan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
“Hai orang-orang mu’min, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (QS. At-Taghabun: 14).
Mujahid berkata dengan ayat di atas, “Wanita (istri) dapat mengantarkan suami untuk memutus hubungan kerabat, berbuat maksiat pada Allah. Karena begitu cintanya sampai suami tetap menurutinya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:292).
Mengungkit-Ungkit Pemberian
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالْأَذَىٰ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima).”(QS. Al-Baqarah: 264)
Ayat ini menunjukkan faedah, terlarang menghilangkan pahala sedekah dengan mengungkit-ungkitnya atau menyakiti hati penerima, baik dengan ucapan maupun perbuatan. Mengungkit-ungkit pemberian dan menyakiti hati penerima dapat merusak amalan sedekah seperti orang yang bersedekah karena riya’ yaitu amalnya ingin dipertontonkan kepada manusia demi mendapat pujian. Hal ini menunjukkan bahwa amalan harus ikhlas semata-mata karena Allah.
Tidak Membuat Suami Marah
Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُؤْذِى امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِى الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللَّهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ يُوشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا
“Jika seorang istri menyakiti suaminya di dunia, maka calon istrinya di akhirat dari kalangan bidadari akan berkata: ‘Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu sebab ia hanya sementara berkumpul denganmu. Sebentar lagi ia akan berpisah dan akan kembali kepada kami.’” (HR. Tirmidzi, no. 1174 dan Ibnu Majah, no. 2014. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Jadi Istri yang Qanaah, Merasa Cukup dengan Pemberian Suami
Secara bahasa qana’ah artinya ridha. Qana’ah artinya ridha dengan pemberian Allah. Ada kata qunu’ artinya ridha dengan pemberian yang sedikit.
Imam Suyuthi berkata bahwa qana’ah adalah ridha dengan apa yang di bawah kifayah (kecukupan).
Artinya qana’ah itu ketika mendapat sedikit pun disyukuri, sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut.
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4:278. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, no. 667).
Manfaat qanaah adalah sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.
Dari ’Ubaidillah bin Mihshan Al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada dirinya.” (HR. Tirmidzi, no. 2346; Ibnu Majah, no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِعَلَيْكُمْ
“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim, no. 2963).
Jangan Banyak Bicara
Mu’adz bin Jabal berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
يَا نَبِيَ اللهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُوْنَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ ؟ فَقَالَ : ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذٍ، وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسُ فِي النَّارِ عَلَى وُجُْهِهِمْ، أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ، إِلاَّ حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ
“Wahai Nabi Allah, apakah kami dituntut (disiksa) karena apa yang kami katakan?” Maka beliau bersabda, “Celaka engkau. Adakah yang menjadikan orang menyungkurkan mukanya (atau ada yang meriwayatkan batang hidungnya) di dalam neraka, selain ucapan lisan mereka?” (HR. Tirmidzi, no. 2616. Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan shahih).
Istri yang Baik itu Tampil Cantik untuk Suami
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai, no. 3231 dan Ahmad, 2:251. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُنَّا نِسَاؤُنَا يَخْتَضَبْنَ بِاللَّيْلِ فَإِذَا أَصْبَحْنَ فَتَحْنَهُ فَتَوَضَّأْنَ وَصَلَّيْنَ ثُمَّ يَخْتَضَبْنَ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَإِذَا كَانَ عِنْدَ الظُّهْرِ فَتَحْنَهُ فَتَوَضَّأْنَ وَصَلَّيْنَ فَأَحْسَنَّ خِضَابًا وَلاَ يَمْنَعُ مِنَ الصَّلاَةِ
“Istri-istri kami punya kebiasaan memakai pewarna kuku di malam hari. Jika tiba waktu Shubuh, pewarna tersebut dihilangkan, lalu mereka berwudhu dan melaksanakan shalat. Setelah shalat Shubuh, mereka memakai pewarna lagi. Ketika tiba waktu Zhuhur, mereka menghilangkan pewarna tersebut, lalu mereka berwudhu dan melaksanakan shalat. Mereka mewarnai kuku dengan bagus, namun tidak menghalangi mereka untuk shalat.” (HR. Ad-Darimi, no. 1093. Syaikh Abu Malik menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih dalam Shahih Fiqh As-Sunnah li An-Nisa’, hlm. 419).
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
—
Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber https://rumaysho.com/19660-6-sifat-wanita-yang-wajib-diwaspadai.html
Rabu, 03 Juli 2019
Penjelaskan Ringkas tentang Salafi, Manhaj Salaf dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
By Ustadz Sofyan Chalid bin Idham Ruray
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Adapun arti Salaf menurut bahasa adalah yang telah berlalu dan telah mendahului. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud dengan Salaf adalah generasi pertama umat Islam yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu’anhum.
Pengikutnya di sebut Salafi, yaitu orang yang meneladani metode Salaf dalam beragama.
Salafi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah, pengikut sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat, merekalah golongan yang selamat.
وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِى عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِى النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِى
“Dan akan berpecah umatku menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti aku dan para sahabatku.” [HR. At-Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhuma, Shohihul Jami: 9474]
1) Memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai pemahaman Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan para sahabat, bukan pemahaman pribadi atau kelompok dan organisasi tertentu.
2) Mendahulukan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah daripada akal, perasaan, mimpi, wangsit atau pendapat siapa pun.
3) Senantiasa menegakkan tauhid dan sunnah, menjauhi syirik dan bid’ah. Senantiasa berusaha untuk taat kepada Allah ta’ala dan tidak meremehkan dosa sekecil apa pun.
4) Menjaga ukhuwah dan persatuan di atas kebenaran, bukan di atas kesesatan. Dan saling menasihati dan mengingatkan bahaya kesesatan.
5) Memuliakan ulama dan taat kepada pemerintah muslim dalam perkara yang tidak bertentangan dengan hukum Allah, dan tidak memberontak kepada pemimpin muslim yang adil maupun zalim, tetapi menasihati secara sembunyi-sembunyi, tidak mengghibah dan menyebarkan aib-aib pemerintah muslim.
Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepada kita semuanya untuk dapat meneladani metode Salaf dalam beragama hingga meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Semoga Allah ta’ala memberikan taufiq kepada kita semuanya untuk dapat meneladani metode Salaf dalam beragama hingga meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray: www.fb.com/sofyanruray.info
FansPage Website: Sofyan Chalid bin Idham Ruray: www.fb.com/sofyanruray.info
Langganan:
Postingan (Atom)